BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kehidupan
para remaja pada era globalisasi seperti sekarang ini tidak dapat dipisahkan
dari suatu hal yang disebut percintaan. Tidak dapat kita pungkiri, semua orang
tentu pernah berada dalam lingkaran kisah yang indah ini. Suatu kondisi yang
dapat membuat seseorang merasakan kebahagiaan. Tidak luput dari hal itu juga
tentu terdapat hal – hal yang mungkin saja tidak diharapkan terjadi. Terlebih
lagi apabila hubungan yang telah terjalin itu dapat dilanjutkan ke jenjang yang
lebih serius yang disebut dengan pernikahan. Tingkatan kehidupan berumah tangga
sangat jauh berbeda dengan saat kita hidup sendiri atau dalam hal ini sering
disebut berpacaran. Tingkatan kehidupan ini sudah termasuk tingkatan yang
serius dan tentu saja diikuti dengan adanya suatu komitmen Antara 2 orang yang
memutuskan untuk hidup bersama.
Era
globalisasi sangat berpengaruh terhadap kehidupan seluruh umat manusia di dunia
tidak terkecuali Indonesia. Pengaruh yang ditimbulkan dapat berasal dari berbagai
factor seperti teknologi yang semakin canggih. Suatu contoh yang dapat kita
ambil yaitu penggunaan jejaring social oleh para remaja yang kemudian memicu
adanya perkenalan antara beberapa orang yang asalnya dari daerah yang saling
berjauhan. Selain itu juga terdapat warga Negara Indonesia yang bekerja ke luar
negeri kemudian bertemu dengan lawan jenis yang menarik hatinya dan notabene
masyarakatnya beragama lain, begitu juga sebaliknya. Dari perkenalan ini
munculah komunikasi satu sama lain bahkan bisa terjalin hubungan yang lebih
jauh dari sekedar pertemanan. Tidak menutup kemungkinan kedua orang ini
ternyata berbeda keyakinan. Rasa cinta kasih telah mengikat mereka dan pada
akhirnya mereka tidak akan terlalu mempermasalahkan tentang perbedaan tersebut.
Pada
awalnya, perbedaan itu memang bisa saja dianggap tidak terlalu penting karena
kedua insan ini hanya mengutamakan perasaan mereka. Setelah berjalan lama dan
bahkan hingga menginjak masa berumah tangga maka perbedaan itu akan sangat
terasa. Terlebih lagi jika keduanya tetap teguh kepada kepercayaannya masing –
masing dan tidak ada yang mau mengalah untuk memeluk salah satu agama saja.
Permasalahan ini tentu akan berkepanjangan dan dapat menyebabkan pertengkaran
bahkan bisa saja sampai perceraian yang sangat tidak dikehendaki Veda. (Subali,
Ida Bagus. 2008; 130). Selain itu juga akan berimbas pada keturunan mereka
nantinya. Masih menjadi suatu hal yang sering dipermasalahkan oleh warga
masyarakat tentang polemic ini. Diidealkankah pernikahan yang berbeda keyakinan
ini, bagaimana sebenarnya aturan dalam agama khususnya agama Hindu, dan masih
banyak lagi pertanyaan – pertanyaan yang belum terjawab secara jelas.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1
Apakah arti dan tujuan pernikahan dalam
Agama Hindu ?
1.2.2
Apakah pernikahan berbeda keyakinan itu
diidealkan dalam Agama Hindu ?
1.2.3
Bagaimanakah pelaksanaan upacara Sudhi
Wadani di Bali ?
1.2.4
Bagaimanakah Perbandingan aturan
pernikahan berbeda keyakinan dalam konteks non Hindu ?
1.2.5
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Arti dan tujuan
pernikahan
Pernikahan
dalam agama Hindu disebut dengan Pawiwahan. Dalam ajaran Catur Asrama,
pawiwahan termasuk ke dalam Grhastha Asrama. Di samping itu, wiwaha dipandang
sebagai sesuatu yang sangat mulia, seperti yang dijelaskan dalam kitab
Manawadharmasastra.III.2 bahwa wiwaha tersebut bersifat sakral yang hukumnya
wajib dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang normal sebagai suatu
kewajiban yang harus dilakukan dalam hidupnya. Pernikahan atau pawiwahan ini
tidak boleh dilakukan karena paksaan atau pengaruh dari orang lain. Hal ini
dilakukan untuk menghindari terjadinya ketegangan setelah menjalani masa
grhastha asrama. Keberhasilan dalam perkawinan atau wiwaha adalah saling
mencintai, bekerjasama, saling mengisi, dan bahu – membahu dalam setiap
kegiatan berumah tangga. Terbentuknya keluarga bahagia dan kekal haruslah
disertai adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban serta kedudukan suami dan
istri itu harus sama dan seimbang, meskipun swadharmanya berbeda dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya.
Mengenai
definisi perkawinan menurut Undang – Undang No. 1 tahun 197 4 pasal 1
disebutkan, perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Redaksi New Merah
Putih, 2009; 12) Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan
memiliki kaitan yang sangat erat dengan agama. Perkawinan bukan hanya memiliki
unsur jasmani tetapi juga unsur batin atau rohani. Perkawinan bukan hanya
sekedar hubungan biologis yang dilegalkan oleh hukum tetapi lebih daripada itu.
Perkawinan atau wiwaha identik dengan upacara yadnya yang menyebabkan kedudukan
lembaga perkawinan sebagai lembaga yang tidak terpisah dengan hukum agama dan
menjadikan hukum Hindu sebagai dasar persyaratan.
Pada
umumnya, Undang – Undang perkawinan secara prinsip mengandung asas – asas yang
dapat menbawa kepada keharmonisan dan kebahagiaan keluarga. Asas – asas itu
adalah sebagai berikut :
1. Tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Suatu
perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agama yang dianut dan
setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang
berlaku.
3. Undang
– Undang perkawinan mengandung asas monogami.
4. Calon
suami istri harus telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan.
5. Undang
– Undang ini menganut prinsip untuk mempersulit perceraian.
6. Hak
dan kedudukan suami istri dalam kehidupan berumah tangga dan masyarakat diatur
dalam Undang – Undang ini.
(Ida Bagus Sudirga dkk,
2010;124)
Bagi masyarakat
Hindu, perkawinan atau pawiwahan memiliki arti dan kedudukan yang khusus dalam
dunia kehidupan mereka. Perkawinan bersifat religius, karena dikaitkan dengan
kewajiban seseorang untuk menebus dosa – dosa orang tua mereka dengan jalan
melahirkan seorang putra. Jadi tujuan utama dari sebuah pawiwahan adalah
memiliki keturunan terutama yang suputra. Seorang anak dapat dikatakan suputra apabila
memiliki sifat yang mulia, hormat dan selalu berbahkti kepada orang tua, cinta
kasih terhadap sesame, dn berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Suputra juga
dapat diartikan anak mampu menyeberangkan orang tuanya dari neraka ke sorga.
Seorang anak yang suputra dengan sikapnya yang mulia mampu mengangkat derajat
dan martabat orang tuanya. Mengenai keutamaan suputra dijelaskan dalam buku
Canakya Niti Sastra.III.14 sebagai berikut :
“Seluruh hutan menjadi
wangi hanya karena ada sebuah pohon dengan bunga indah dan harum semerbak.
Begitu juga halnya kalau di dalam keluarga terdapat seorang anak yang suputra”
2.2 Pernikahan berbeda
keyakinan dalam Agama Hindu
Sebagai suatu Negara yang menganut
prinsip Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia memang memiliki berbagai macam budaya,
tradisi, dan tidak hanya ada satu agama atau keyakinan saja. Sangat banyak
terdapat kebudayaan dan tradisi yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Selain itu juga ada 5 agama atau keyakinan yang diakui secara sah di Indonesia
yaitu Islam, Protestan, Khatolik, Hindu dan agama Budha. Di balik semua itu
tentunya sangat banyak perbedaan prinsip diantara kita, namun semua perbedaan
itu jangan sampai mendatangkan perpecahan. Semua perbedaan itu harus dapat
mempersatukan kita. Seperti halnya perbedaan keyakinan. Meskipun terdapat lebih
dari satu keyakinan di Indonesia, tetapi itu bukan suatu alasan untuk kita
terpecah belah. Dapat diambil contoh seperti dua orang yang berbeda keyakinan
tetapi ingin hidup bersama dalam suatu ikatan perkawinan. Bukan hal yang salah,
tetapi tetap harus mengikuti tradisi dan budaya yang berlaku dalam keyakinan
mereka masing – masing. Dalam agama Hindu khususnya, pernikahan berbeda agama
sebenarnya tidak disarankan, karena dalam membangun suatu rumah tangga haruslah
didasari dengan prinsip dan tujuan yang sama. Bagaimana bisa seseorang
menjalani kehidupan bersama jika tidak memiliki dasar keyakinan yang sama.
Selain itu bagaimana pula dengan keturunan mereka kelak. Akan sangat susah
untuk mendidik keturunana mereka dengan keyakinan yang berbeda karena masing –
msing keyakinan pasti memiliki caranya masing – masing.
Dalam agama Hindu, sah atau tidaknya
suatu perkawinan terksit dengan sesuai atau tidaknya persyaratan yang ada dalam
ajaran agama. Suatu perkawinan dianggap sah menurut Hindu apabila telah
memenuhi persyaratan di bawah ini :
1. Perkawinan
dikatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum Hindu.
2. Untuk
menegaskan perkawinan menurut hukum Hindu harus dilakukan oleh pendeta atau
rohaniawan atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan
itu.
3. Suatu
perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut agama
Hindu.
4. Berdasarkan
tradisi yang berlaku di Bali perkawinan dikatakan sah apabila telah
melaksanankan upacar byakala atau pabiokaoanan sebagai rangkaian upacara
wiwaha.
5. Calon
mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan pernikahan.
6. Tidak
ada kelainan, seperti tidak banci, kuming (tidak pernah haid), tidak sakit jiwa
atau sehat jasmani dan rohani.
7. Calon
memepelai cukup umur, pria berumur 21 tahun dan wanita minimal 18 tahun.
8. Calon
mempelai tidak mempunyai hubungan darah dekat atau sapinda.
(Suratmini,
Ni Wayan,dkk.2010;127)
Jika calon mempelai tidak memenuhi
persyaratan tersebut, perkawinan dikatakan tidak sah. Selain persyaratan
tersebut, yang tidak kalah penting agar pekawinan dianggap sah adalah harus
dibuatkan akta perkawinan sesuai dengan Undang undang yang berlaku.
Menurut kitab Manawa Dharmasastra, suatu perkawinan itu
dilarang apabila kedua mempelai adalah sapinda, yang artinya mempunyai hubungan
keluarga atau ikatan darah yang dekat satu sama lainnya. Seperti yang terdapat
pada Manawa Dharmasastra.III.42
“Aninditaih stri wiwahair anindya bhawati praja.
Ninditairnindita nrrnam tasmannindyan wiwarja yet. “
“Dari perkawinan yang terpuji putra-putra
terpujilah lahir dan dari perkawinan tercela lahir keturunan tercela. Karena
ini hendaknya dihindari bentuk-bentuk perkawinan yang tercela”
Berdasarkan
sloka diatas, maka sangat disarankan untuk menjauhi semua jenis pernikahan yang
tidak dipantaskan dalam agama sehingga nantinya dapat melahirkan putra putri
yang suputra. Selain itu, menurut Undang – Undang No. 1 tahun 1974, suatu
perkawinan dapat dibatalkan bila tidak sesuai dengan ketentuan pasal 24 dan
pasal 27 yang isinya dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Suatu
perkawinan dapat dimintakan pembatalannya apabila bertentangan dengan hukum
agama, misalnya dilaksanakan dengan system raksasa wiwaha atau paisaca wiwaha.
2. Perkawinan
dapat dibatalkan apabila calon mempelai masih mempunyai ikatan perkawinan
dengan seseorang sebelumnya.
3. Perkawinan
dapat dibatalkan bila calon istri atau suami mempunyai cacat yang disembunyikan
sehingga salah satu pihak merasa ditipu. Misalnya mempunyai penyakit menular
yang berbahaya, tidak sehat pikiran atau impotensi, mengandung karena akibat
berhubungan dengan laki – laki lain.
4. Perkawinan
batal berdasarkan hubungan sapinda.
5. Perkawinan
dapat dibatalkan apabila istri tidak menganut agama yang sama dengan suami
menurut hukum Hindu.
Dalam ajaran
agama Hindu, disaat dua orang memutuskan untuk menikah tetapi memiliki
keyakinan yang berbeda itu kurang diidealkan. Pernikahan dapat tetap
dilaksanakan apabila kedua mempelai telah menganut keyakinan yang sama yaitu
Hindu. Jadi sebelum rangkaian upacara pernikahan dilaksanakan, mempelai yang
belum menganut agama Hindu akan diupacarai terlebih dahulu. Upacara tersebut
dikenal dengan istilah Sudhi Wadani.
2.3
Upacara Sudhi Wadani
Dalam tradisi agama Hindu di Bali,
terdapat suatu upacara yang dikenal dengan nama Sudi Wadani. Upacara Sudi Wadani adalah Upacara
yang wajib dilakukan bagi umat non-Hindu yang ingin memeluk Hindu. Upacara ini
tidak hanya sebagai pencatatan administrative bagi yang menjalankannya, melainkan juga
bermakna sebagai bentuk penyucian diri dan pernyataan spiritual bahwa yang
bersangkutan siap melaksanakan seluruh ajaran agama Hindu. Bagi
seseorang yang akan melaksanakan upacara Sudhi Wadani, baik yang dilakukan
secara perorangan atau secara kelompok
diwajibkan untuk memenuhi persyaratan administrasi terlebih dahulu, yaitu :
1.
Membuat surat pernyataan dengan tulus
ikhlas ntuk menganut agama Hindu tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.
2.
Membuat surat permohonan kepada
Parisadha Hindu Dharma Indonesia setempat atau lembaga adat untuk mengikuti
upacara Sudhi Wadani.
3.
Mengumpulakan foto copy KTP dan pas
photo ukuran 3x4 sebanyak 2 lembar.
4.
Adanya saksi – saksi dalam pelaksanaan
upacara Sudhi Wadani. Perlu diketahui bahwa dalam pelaksanaan upacara Sudhi
Wadani tidak dibatasi usia karena upacara ini bertujuan untuk menyucikan diri
secara lahir batin seseorang ketika akan menganut agama Hindu.
Selain persyaratan administrasi yang
harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melaksanakan upacara Sudhi Wadani,
terdapat beberapa sarana upacara yang juga harus disiapkan, diantaranya :
1. Berwujud
dedaunan, seperti : daun kelapa, daun enau, daun pisang, daun sirih, dan
senagainya.
2. Berwujud
buah – buahan, seperti : buah kelapa, beras atau padi, pinang, kacang –
kacangan, dan sebagainya.
3. Berwujud
bunga – bungaan atau kembang.
4. Berwujud
air (disebut tirta).
Setelah
memenuhi persyaratan administrasi dan mempersiapkan segala sarana upacaranya,
berikut ini tata cara pelaksanaan dari upacara Sudhi Wadani :
1. Setelah
ditentukan pemimpin upacara, upakara, tempat upacara, Parisada memanggil calon
yang akan disudhi wadanikan. Biasanya di Pura atau tempat suci lainnya yang
dipandang cocok.
2. Pemimpin
upacara terlebih dahulu mengantarkan upakara dengan puja mantra ke hadapan
Hyang Widhi beserta manifestasinya yang dipusatkan di Padmasana.
3. Calon
yang akan disudhiwadanikan diharapkan sudah siap lahir bathin dengan berpakaian
bersih dan rapi serta menyerahkan diri sepenuhnya kepada Hyang Widhi sebagai
saksi agung.
4. Upacara
Byakala sebelum memasuki halaman tempat suci dengan doa : “Om kaki bhuta
penampik lara, kaki bhuta penampik klesa, ngunduraken bhaya kalaning manusaning
hulun, Om ksama sampurna ya nama svaha”
5. Setelah
melaksanakan upacara Byakala, orang yang disudhiwadanikan diantar masuk ke
dalam tempat suci, kemudian dilakukan upacara prayascita. Upacara ini bertujuan
yang bersangkutan dapat dibersihkan dan disucikan dari kotoran sehingga Atma
yang bersemayam dalam diri pribadinya dapat memancarkan sinarnya. Doa yang
digunakan : “Om Sri Guru Saraswati, sarwa roga, sarwa papa, sarwa klesa, sarwa
kali, kuluwasa ya namah svaha”.
6. Upacara
selanjutnya adalah persembahan upakara berupa tataban atau ayaban sebagai
pernyataan terima kasih ke hadapan Hyang Widhi. Doanya : “Om Bhuktyantu sarwa
dewa bhuktyantu tri loka natham sageneh sapariwarah, sarwagah, sadhasidasah”.
7. Setelah
selesai menghaturkan upakara, pemimpin upacara membacakan pernyataan yang sudah
di tulis oleh yang melakukan Suddhi Wadani, kemudian ditirukan dengan seksama.
Adapun bunyi surat pernyataan yang ditulis pada blangko surat pernyataan oleh
calon Suddhi Wadani adalah sebagai berikut :
a. Om
tat Sat ekam eva adwityam brahman (Sang Hyang Widhi hanya satu tidak ada
duanya)
b. Satvam
eva jayate (Hanya kebenaran yang jaya)
c. Dengan
melaksanakan ajaran agama Hindu kebahagiaan pasti akan tercapai.
Kemudian setelah
mengucapkan pernyataan tersebut, yang disuddhiwadanikan diminta menepati
pernyataannya itu dengan mengucapkan janji sebagai berikut :
a. Bahwa
saya akan tunduk serta taat pada Hukum Hindu.
b. Bahwa
saya tetap akan berusaha dengan sekuat tenaga dan pikiran serta batin untuk
dapat memenuhi kewajiban saya sebagai umat Hindu.
Kemudian dilanjutkan
dengan penandatanganan Surat keterangan Sudhi Wadani, baik oleh yang
bersangkutan maupun oleh para saksi.
8. Setelah
penandatangan selesai dilanjutkan dengan persembahyangan bersama yang dipimpin
oleh pemimpin upacara guna memohon persaksian dan restu dari Sang Hyang Widhi.
Adapun rangkaian
persembahyangannya sebagai berikut :
a. Menyembah
tanpa sarana (tangan kosong) yaitu tangan dicakupkan, diangkat setinggi dahi
sehingga ujung jari sejajar ubun – ubun. Doanya : “Om atma tatwatma sudhamam
svaha” yang artinya (Hyang widhi yang merupakan atma tattwa, sucikanlah hamba).
b. Menyembah
dengan bunga atau kembang. Tangan menjepit bunga, ujung jari sejajar ubun –
ubun ditujukan ke hadapan Siwa Raditya, menifestasi Hyang Widhi sebagai dewa
Surya untuk menyaksikan semua persembahan manusia. Doanya : “Om Adityasya
paramjyoti, raktateja namo stute, sveta pangkaja madhyasta bhaskara ya namo stute.
Om pranamya bhaskara dewam, srwa klesa winasanam. Pranamyaditya ciwartam bhukti
mukthi warapradham. Om rang ring sah parama ciwaditya namo namah svaha” yang
artinya (Hyang Widhi hamba sembah engkau dalam manifestasi sebagai sinar surya
yang merah cemerlang, berkilauan cahayaMu, engkau putih suci bersemayam di
tengah – tengah laksana teratai, engakaulah Bhaskara yang hamba puja selalu.
Hyang Widhi, cahaya sumber segala sinar binasa. Karena dikau adalah sumber
bukti dan mukti, kesejahteraan hidup jasmani dan rohani. Hamba memujaMu, Hyang
Widhi Paramaciwaditya).
c. Menyembah
dengan Kwangen. Tangan menjepit Kwangen, ujung jari sejajar ubun – ubun
sehingga permukaan kwangen berada lebih tinggi dari ubun – ubun. Pemujaan
dengan kwangen ini ditujukan ke hadapan Hyang Widhi dalam manifestasiNya
sebagai Ardanareswari. Doanya : “Om namah dewa adhistanaya, sarwa wyapiwai
ciwaya, padmasana eka pratisthaya ardhanarecwaryainamo namah” yang artinya
(Hyang Widhi hamba memujaMu sebagai sumber sinar yang hamba muliakan, hamba
memuja dikau sebagai Siwa penguasa semua makhluk, bertahta pada padmasana
sebagai satu – satunya penegak. Engkaulah satu – satunya wujud tunggal
Ardanareswari yang hamba hormati).
d. Menyembah
dengan Kwangen. Tangan menjepit kwangen, ujung jari sejajar ubun – ubun ke
hadapan hyang widhi guna memohon anugrah.Doanya : “Om Anugraha manohara dewatta
nugrahaka, arcanam sarwapujanam, namahsarwanugrahaka, Dewa dewi mahasiddhi,
yadnyakita mulat idham, laksmisidhisca dhirgayuh. Nirwignam sukha wrdhisca. Om
ghring anugraha arcane ya namo namah svaha, om ghring anugraha manoharaya namo
namah svaha” yang artinya (Hyang Widhi limpahakanlah anugerahMu yang
menggembirakan pada hamba. Hyang Widhi maha pemurah yang melimpahkan segala
kebahagiaan yang dicita – citakan serta dipuji – puji dengan segala pujian.
Hamba puja engkau yang melimpahkan segala macam anugrah, sumber kesidhian semua
dewata yang semua berasal dari yajnya kasih syangMu. Limpahkanlah kemakmuran,
kesdihian, umur panjang serta keselamatan. Hamba puja dikau untuk dianugrahi
kebaktian dan kebahagiaan).
e. Menyembah
tanpa sarana. Tangan dicakupkan diangkat sejajar dahi, sehingga ujung jari
sejajar ubun – ubun. Tujuan menyembah terakhir ini untuk mengucapkan terima
kasih atas anugrah yang dilimpahkan. Doanya : “Om dewa suksma parama achintya
nama svaha, Om santih santih santih om” yang artinya (Hyang Widhi hamba
memujaMu dalam wujud suci yang gaib serta wujud maha agung tak dapat
dipikirkan. Semoga semuanya damai di hati, damai di dunia, damai selalu).
Dengan
demikian berakhirlah rangkaian persembahyangan yang kemudian disusul dengan
memohon tirta (air suci) yang dipercikan, diminum, dan diraup. Doanya : “Om
pratama sudha, dwitya sudha, tritya sudha, sadham wari astu” yang artinya (Pertama
suci, kedua suci, semoga disucikan dengan air ini).
9. Sebagai
rangkaian terakhir dari pelaksanaan upacara Suddhi Wadani adalah Dharma Wacana
yang diberikan oleh Parisada Hindu Dharma atau yang mewakili. Tujuan dharma
wacana ini diberikan adalah untuk memberikan bekal dan tuntunan kepada umat
Hindu yang baru mulai menganut agama Hindu sehingga mereka mengetahui sisi
ajaran agama Hindu. Upacara ditutup dengan memberikan ucapan selamat oleh yang
ikut menyaksikan berlangsungnya upacara pensuddhian selanjutnya diakhiri dengan
parama shanti.
2.4
Perbandingan aturan pernikahan berbeda keyakinan dalam konteks non Hindu
2.4.1 Pernikahan Beda
Agama menurut Undang-undang
Menurut UU No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan, yang dalam pasal 1 berbunyi: “Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seseorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Selanjutnya dalam pasal 2 ayat 1 dinyatakan:
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan itu”.
Dalam penjelasan atas
pasal 1 disebutkan : “Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila
pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang
erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai
unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang
penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang
merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan
kewajiban orang tua.
2.4.2 Menurut Agama
Islam
Pandangan Agama Islam
terhadap perkawinan antar agama, pada prinsipnya tidak memperkenankannya. Dalam
Al-Quran dengan tegas dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang
musyrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi:
“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahkan orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik
hatimu”. (Al-Baqarah [2]:221)
Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat
221 itu berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk menikah
dengan orang-orang yang tidak beragama Islam.
2.4 3 Menurut Agama
Katolik
Gereja Katolik memandang
bahwa perkawinan antara seorang beragama Katolik dengan yang bukan agama
Katolik bukanlah bentuk perkawinan yang ideal. Karena perkawinan dianggap
sebagai sebuah sakramen (sesuatu yang kudus, yang suci). Menurut Hukum Kanon
Gereja Katolik, ada sejumlah halangan yang membuat tujuan perkawinan tidak
dapat diwujudkan. Misalnya, adanya ikatan nikah (kanon 1085), adanya
tekanan/paksaan baik secara fisik, psikis maupun sosial/komunal (kanon 1089 dan
1103), dan juga karena perbedaan gereja (kanon 1124) maupun agama (kanon 1086).
Namun demikian,
sebagaimana disebut dalam Hukum Kanonik, perkawinan karena perbedaan agama ini
baru dapat dilakukan kalau ada dispensasi dari Ordinaris Wilayah atau Keuskupan
(Kanon 1124). Jadi, dalam ketentuan seperti ini, Agama Katolik pada prinsipnya
melarang perkawinan antara penganutnya dengan seorang yang bukan Katolik,
kecuali dalam hal-hal tertentu Uskup dapat memberikan dispensasi atau
pengecualian.
2.4.4 Menurut Agama
Protestan
Pada umumnya pernikahan
beda agama tidak dikehendaki di dalam Perjanjian Lama (PL). Alasannya adalah
kekuatiran bahwa kepercayaan kepada Allah Israel akan dipengaruhi ibadah asing
dari pasangan yang tidak seiman (Ezr. 9-10; Neh. 13:23-29; Mal. 2:10). Larangan
yang eksplisit terdapat dalam Ul. 7:3-4, “Janganlah juga engkau kawin-mengawin
dengan mereka: anakmu perempuan janganlah kauberikan kepada anak laki-laki
mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kauambil bagi anakmu laki-laki;
sebab mereka akan membuat anakmu laki-laki menyimpang dari pada-Ku, sehingga
mereka beribadah kepada allah lain. Maka murka TUHAN akan bangkit terhadap kamu
dan Ia akan memunahkan engkau dengan segera.”
2.4.5 Menurut Agama
Budha
Perkawinan antar agama
di mana salah seorang calon mempelai tidak beragama Budha, menurut keputusan
Sangha Agung Indonesia diperbolehkan, asal pengesahan perkawinannya dilakukan
menurut cara agama Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang tidak bergama
Budha, tidak diharuskan untuk masuk agama Budha terlebih dahulu. Akan tetapi
dalam upacara ritual perkawinan, kedua mempelai diwajibkan mengucapkan “atas
nama Sang Budha, Dharma dan Sangka”.
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa agama Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan
perkawinan dengan penganut agama lain. Akan tetapi untuk penganut agama lainnya
maka harus dilakukan menurut agama Budha. Kewajiban untuk mengucapkan atas nama
Sang Budha, Dharma dan Sangka, ini secara tidak langsung berarti bahwa calon
mempelai yang tidak beragama Budha menjadi penganut agama Budha, walaupun
sebenarnya ia hanya menundukkan diri pada kaidah agama Budha pada saat
perkawinan itu dilangsungkan.
2.4.6 Menurut Agama
Khonghucu
Dalam ajaran agama
Khonghucu perkawinan adalah, ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia), dan
melangsungkan keturunan berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa. Tujuan perkawinan
dalam agama Konghucu di Indonesia ialah memungkinkan manusia melangsungkan
sejarahnya dan mengembangkan benih-benih Thian (Tuhan Yang Maha Esa), berwujud
kebajikan yang bersemayam di dalam dirinya, dan memungkinkan manusia membimbing
putra-putrinya.
Adapun syarat-syarat perkawinan bagi umat
Konghucu yang terkait masalah beda agama :
a.
Ada persetujuan dari kedua mempelai tanpa ada unsur paksaan.
- Kedua calon mempelai wajib melaksanakan pengakuan iman. Peneguhannya dilaksanakan di tempat ibadah umat Konghucu (Lithang).
- Mendapat persetujuan dari kedua orang tua, baik orang tua pihak laki-laki maupun pihak perempuan atau walinya.
- Disaksikan oleh dua orang saksi.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Dari pembahasan yang berasal dari
berbagai referensi dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan suatu ikatan
lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai sepasang suami istri yang
bertujuan untuk membentuk suatu rumah tangga yang bahagia yang berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam agama Hindu, pernikahan disebut dengan
pawiwahan. Tingkatan ini merupakan salah satu bagian dari catur asrama yang
dikenal dengan Grhastha asrama. Pawiwahan ini dipandang wajib untuk seluruh
umat dan tidak boleh dilaksanakan secara terpaksa atau dipengaruhi oleh orang
lain. Tujuan utama dari pawiwahan adalah untuk mendapatkan keturunan yang
suputra yang dapat menyeberangkan orang tuanya dari neraka menuju surga.
Terkait dengn suatu problematik dalam masyarakat tentang pernikahan berbeda
keyakinan, jika kita tinjau secara umum, tidak menjadi suatu permasalahan yang
besar apabila ada dua orang yang ingin hidup bersama tetapi memiliki dasar
keyakinan yang berbeda. Tetapi di satu sisi, kita juga harus berpedoman pada
adat dan tradisi yang berlaku. Dalam agama Hindu khusunya, memang tidak
disarankan untuk membina suatu rumah tangga yang didasari dua keyakinan yang
berbeda karena pada prinsipnya suatu rumah tangga harus memiliki dasar
keyakinan yang sama agar rumah tangga tersebut dapat terbina secara harmonis.
Selain itu, diharapkan suami dan istri itu menganut keyakinan yang sama agar
tidak mengakibatkan keturunannya kelak bingung untuk mengikuti keyakinan orang
tuanya.
Sesuai
dengan aturan dalam agama Hindu terkait dengan pernikahan berbeda keyakinan,
maka apabila salah satu mempelai belum menganut agama Hindu maka harus
diupacarai terlebih dahulu. Upacara ini disebut dengan Sudhi Wadani. Upacara
ini dilakukan oleh seseorang yang hendak menganut agama Hindu dimana makna dari
upacara ini adalah untuk penyucian diri dan pernyataan spiritual bahwa orang
tersebut siap lahir dan batin untuk mengikuti dan menerapkan seluruh ajaran
agama Hindu. Tahapan pertama yang harus dipenuhi adalah tahap administrasi
dimana seorang yang akan mengikuti upacara ini mengajukan surat permohonan
untuk mengikuti upacara Sudhi Wadani kepada PHDI setempat. Setelah permohonan
itu diproses, calon yang akan mengikuti upacara Sudhi Wadani menyiapkan sarana
yang akan digunakan baik itu berupa dedaunan, buah-buahan, bunga, dan air.
Setelah seluruh sarana siap, maka upacara dapat dilaksanakan dengan dipimpin
oleh pemuka agama Hindu yang sudah ditunjuk oleh PHDI dan memang dipandang
pantas untuk memimpin jalannya upacara Sudhi Wadani. Sama halnya dengan agama
Hindu, aturan pada agama lain terkait dengan pernikahan berbeda keyakinan juga
kurang diidealkan. Bukan hanya dari segi hukum agama itu sendiri, tapi juga mempertimbangkan
tujuan dari pernikahan yaitu menyatukan
dua insan yang berbeda untuk membina bahtera rumah tangga bersama. Dalam
membina rumah tangga, akan terjalin hubungan untuk melahirkan keturunan,
memelihara, membesarkan dan mendidik anak. Jadi jauh akan lebih mudah apabila
rumah tangga dibangun dengan dasar keyakinan yang sama.
3.2 Saran
Dari
permasalahan yang dibahas, saran yang dapat diberikan umumnya untuk seseorang
yang hendak mencari pasangan hidup, hendaklah mencari yang seiman. Tidak
menutup kemungkinan memang ada bahkan cukup banyak pasangan yang berbeda
keyakinan, jika dengan keadaan yang demikian maka salah satunya harus siap
berpindah keyakinan agar nantinya bisa membangun bahtera rumah tangga yang
harmonis. Namun apabila satu sama lain masih tetap menganut keyakinannya masing
– masing setelah menikah, maka keduanya harus dapat memunculkan sikap toleransi
satu sama lain dan mendidik keturunan mereka nantinya dengan cara yang tepat
dan usahakan tidak memaksakan salah satu keyakinan orang tuanya. Biarkanlah
anak yang memilih sehingga anak tidak merasa terkekang.
DAFTAR PUSTAKA
Sudirga, Ida Bagus, dkk.
2010. Widya Dharma Agama Hindu SMA.
Denpasar: Ganeca Exact.
Rai Sudharta, Tjokorda.
2003. Manawa Dharmasastra. Jakarta:
CV. Nitra Kencana Buana.
Subali, Ida Bagus. 2008.
Wanita Mulia Istana Dewa. Surabaya:
Paramita.
Darmayasa, I Made. 1995.
Canakya Niti Sastra terjemahan.
Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.
New Merah Putih,
Redaksi. 2009. Undang Undang Perkawinan
No 1 tahun 1974. Yogyakarta: New Merah Putih.