Kamis, 18 Desember 2014

Makalah Agama Pernikahan Beda Keyakinan



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Kehidupan para remaja pada era globalisasi seperti sekarang ini tidak dapat dipisahkan dari suatu hal yang disebut percintaan. Tidak dapat kita pungkiri, semua orang tentu pernah berada dalam lingkaran kisah yang indah ini. Suatu kondisi yang dapat membuat seseorang merasakan kebahagiaan. Tidak luput dari hal itu juga tentu terdapat hal – hal yang mungkin saja tidak diharapkan terjadi. Terlebih lagi apabila hubungan yang telah terjalin itu dapat dilanjutkan ke jenjang yang lebih serius yang disebut dengan pernikahan. Tingkatan kehidupan berumah tangga sangat jauh berbeda dengan saat kita hidup sendiri atau dalam hal ini sering disebut berpacaran. Tingkatan kehidupan ini sudah termasuk tingkatan yang serius dan tentu saja diikuti dengan adanya suatu komitmen Antara 2 orang yang memutuskan untuk hidup bersama.
Era globalisasi sangat berpengaruh terhadap kehidupan seluruh umat manusia di dunia tidak terkecuali Indonesia. Pengaruh yang ditimbulkan dapat berasal dari berbagai factor seperti teknologi yang semakin canggih. Suatu contoh yang dapat kita ambil yaitu penggunaan jejaring social oleh para remaja yang kemudian memicu adanya perkenalan antara beberapa orang yang asalnya dari daerah yang saling berjauhan. Selain itu juga terdapat warga Negara Indonesia yang bekerja ke luar negeri kemudian bertemu dengan lawan jenis yang menarik hatinya dan notabene masyarakatnya beragama lain, begitu juga sebaliknya. Dari perkenalan ini munculah komunikasi satu sama lain bahkan bisa terjalin hubungan yang lebih jauh dari sekedar pertemanan. Tidak menutup kemungkinan kedua orang ini ternyata berbeda keyakinan. Rasa cinta kasih telah mengikat mereka dan pada akhirnya mereka tidak akan terlalu mempermasalahkan tentang perbedaan tersebut.
Pada awalnya, perbedaan itu memang bisa saja dianggap tidak terlalu penting karena kedua insan ini hanya mengutamakan perasaan mereka. Setelah berjalan lama dan bahkan hingga menginjak masa berumah tangga maka perbedaan itu akan sangat terasa. Terlebih lagi jika keduanya tetap teguh kepada kepercayaannya masing – masing dan tidak ada yang mau mengalah untuk memeluk salah satu agama saja. Permasalahan ini tentu akan berkepanjangan dan dapat menyebabkan pertengkaran bahkan bisa saja sampai perceraian yang sangat tidak dikehendaki Veda. (Subali, Ida Bagus. 2008; 130). Selain itu juga akan berimbas pada keturunan mereka nantinya. Masih menjadi suatu hal yang sering dipermasalahkan oleh warga masyarakat tentang polemic ini. Diidealkankah pernikahan yang berbeda keyakinan ini, bagaimana sebenarnya aturan dalam agama khususnya agama Hindu, dan masih banyak lagi pertanyaan – pertanyaan yang belum terjawab secara jelas.  

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1                 Apakah arti dan tujuan pernikahan dalam Agama Hindu ?
1.2.2                 Apakah pernikahan berbeda keyakinan itu diidealkan dalam Agama    Hindu ?
1.2.3                 Bagaimanakah pelaksanaan upacara Sudhi Wadani di Bali ?
1.2.4                 Bagaimanakah Perbandingan aturan pernikahan berbeda keyakinan dalam konteks non Hindu ?

1.2.5                  
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Arti dan tujuan pernikahan
Pernikahan dalam agama Hindu disebut dengan Pawiwahan. Dalam ajaran Catur Asrama, pawiwahan termasuk ke dalam Grhastha Asrama. Di samping itu, wiwaha dipandang sebagai sesuatu yang sangat mulia, seperti yang dijelaskan dalam kitab Manawadharmasastra.III.2 bahwa wiwaha tersebut bersifat sakral yang hukumnya wajib dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang normal sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan dalam hidupnya. Pernikahan atau pawiwahan ini tidak boleh dilakukan karena paksaan atau pengaruh dari orang lain. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya ketegangan setelah menjalani masa grhastha asrama. Keberhasilan dalam perkawinan atau wiwaha adalah saling mencintai, bekerjasama, saling mengisi, dan bahu – membahu dalam setiap kegiatan berumah tangga. Terbentuknya keluarga bahagia dan kekal haruslah disertai adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban serta kedudukan suami dan istri itu harus sama dan seimbang, meskipun swadharmanya berbeda dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.
Mengenai definisi perkawinan menurut Undang – Undang No. 1 tahun 197 4 pasal 1 disebutkan, perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Redaksi New Merah Putih, 2009; 12) Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan memiliki kaitan yang sangat erat dengan agama. Perkawinan bukan hanya memiliki unsur jasmani tetapi juga unsur batin atau rohani. Perkawinan bukan hanya sekedar hubungan biologis yang dilegalkan oleh hukum tetapi lebih daripada itu. Perkawinan atau wiwaha identik dengan upacara yadnya yang menyebabkan kedudukan lembaga perkawinan sebagai lembaga yang tidak terpisah dengan hukum agama dan menjadikan hukum Hindu sebagai dasar persyaratan.
Pada umumnya, Undang – Undang perkawinan secara prinsip mengandung asas – asas yang dapat menbawa kepada keharmonisan dan kebahagiaan keluarga. Asas – asas itu adalah sebagai berikut :
1.      Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.      Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agama yang dianut dan setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku.
3.      Undang – Undang perkawinan mengandung asas monogami.
4.      Calon suami istri harus telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan.
5.      Undang – Undang ini menganut prinsip untuk mempersulit perceraian.
6.      Hak dan kedudukan suami istri dalam kehidupan berumah tangga dan masyarakat diatur dalam Undang – Undang ini.
(Ida Bagus Sudirga dkk, 2010;124)
           
Bagi masyarakat Hindu, perkawinan atau pawiwahan memiliki arti dan kedudukan yang khusus dalam dunia kehidupan mereka. Perkawinan bersifat religius, karena dikaitkan dengan kewajiban seseorang untuk menebus dosa – dosa orang tua mereka dengan jalan melahirkan seorang putra. Jadi tujuan utama dari sebuah pawiwahan adalah memiliki keturunan terutama yang suputra. Seorang anak dapat dikatakan suputra apabila memiliki sifat yang mulia, hormat dan selalu berbahkti kepada orang tua, cinta kasih terhadap sesame, dn berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Suputra juga dapat diartikan anak mampu menyeberangkan orang tuanya dari neraka ke sorga. Seorang anak yang suputra dengan sikapnya yang mulia mampu mengangkat derajat dan martabat orang tuanya. Mengenai keutamaan suputra dijelaskan dalam buku Canakya Niti Sastra.III.14 sebagai berikut :
“Seluruh hutan menjadi wangi hanya karena ada sebuah pohon dengan bunga indah dan harum semerbak. Begitu juga halnya kalau di dalam keluarga terdapat seorang anak yang suputra”
2.2 Pernikahan berbeda keyakinan dalam Agama Hindu
            Sebagai suatu Negara yang menganut prinsip Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia memang memiliki berbagai macam budaya, tradisi, dan tidak hanya ada satu agama atau keyakinan saja. Sangat banyak terdapat kebudayaan dan tradisi yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Selain itu juga ada 5 agama atau keyakinan yang diakui secara sah di Indonesia yaitu Islam, Protestan, Khatolik, Hindu dan agama Budha. Di balik semua itu tentunya sangat banyak perbedaan prinsip diantara kita, namun semua perbedaan itu jangan sampai mendatangkan perpecahan. Semua perbedaan itu harus dapat mempersatukan kita. Seperti halnya perbedaan keyakinan. Meskipun terdapat lebih dari satu keyakinan di Indonesia, tetapi itu bukan suatu alasan untuk kita terpecah belah. Dapat diambil contoh seperti dua orang yang berbeda keyakinan tetapi ingin hidup bersama dalam suatu ikatan perkawinan. Bukan hal yang salah, tetapi tetap harus mengikuti tradisi dan budaya yang berlaku dalam keyakinan mereka masing – masing. Dalam agama Hindu khususnya, pernikahan berbeda agama sebenarnya tidak disarankan, karena dalam membangun suatu rumah tangga haruslah didasari dengan prinsip dan tujuan yang sama. Bagaimana bisa seseorang menjalani kehidupan bersama jika tidak memiliki dasar keyakinan yang sama. Selain itu bagaimana pula dengan keturunan mereka kelak. Akan sangat susah untuk mendidik keturunana mereka dengan keyakinan yang berbeda karena masing – msing keyakinan pasti memiliki caranya masing – masing.
            Dalam agama Hindu, sah atau tidaknya suatu perkawinan terksit dengan sesuai atau tidaknya persyaratan yang ada dalam ajaran agama. Suatu perkawinan dianggap sah menurut Hindu apabila telah memenuhi persyaratan di bawah ini :
1.      Perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum Hindu.
2.      Untuk menegaskan perkawinan menurut hukum Hindu harus dilakukan oleh pendeta atau rohaniawan atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.
3.      Suatu perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut agama Hindu.
4.      Berdasarkan tradisi yang berlaku di Bali perkawinan dikatakan sah apabila telah melaksanankan upacar byakala atau pabiokaoanan sebagai rangkaian upacara wiwaha.
5.      Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan pernikahan.
6.      Tidak ada kelainan, seperti tidak banci, kuming (tidak pernah haid), tidak sakit jiwa atau sehat jasmani dan rohani.
7.      Calon memepelai cukup umur, pria berumur 21 tahun dan wanita minimal 18 tahun.
8.      Calon mempelai tidak mempunyai hubungan darah dekat atau sapinda.
(Suratmini, Ni Wayan,dkk.2010;127)
            Jika calon mempelai tidak memenuhi persyaratan tersebut, perkawinan dikatakan tidak sah. Selain persyaratan tersebut, yang tidak kalah penting agar pekawinan dianggap sah adalah harus dibuatkan akta perkawinan sesuai dengan Undang undang yang berlaku.
            Menurut kitab Manawa Dharmasastra, suatu perkawinan itu dilarang apabila kedua mempelai adalah sapinda, yang artinya mempunyai hubungan keluarga atau ikatan darah yang dekat satu sama lainnya. Seperti yang terdapat pada Manawa Dharmasastra.III.42

“Aninditaih stri wiwahair anindya bhawati praja. Ninditairnindita nrrnam tasmannindyan wiwarja yet. “
 “Dari perkawinan yang terpuji putra-putra terpujilah lahir dan dari perkawinan tercela lahir keturunan tercela. Karena ini hendaknya dihindari bentuk-bentuk perkawinan yang tercela”
Berdasarkan sloka diatas, maka sangat disarankan untuk menjauhi semua jenis pernikahan yang tidak dipantaskan dalam agama sehingga nantinya dapat melahirkan putra putri yang suputra. Selain itu, menurut Undang – Undang No. 1 tahun 1974, suatu perkawinan dapat dibatalkan bila tidak sesuai dengan ketentuan pasal 24 dan pasal 27 yang isinya dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Suatu perkawinan dapat dimintakan pembatalannya apabila bertentangan dengan hukum agama, misalnya dilaksanakan dengan system raksasa wiwaha atau paisaca wiwaha.
2.      Perkawinan dapat dibatalkan apabila calon mempelai masih mempunyai ikatan perkawinan dengan seseorang sebelumnya.
3.      Perkawinan dapat dibatalkan bila calon istri atau suami mempunyai cacat yang disembunyikan sehingga salah satu pihak merasa ditipu. Misalnya mempunyai penyakit menular yang berbahaya, tidak sehat pikiran atau impotensi, mengandung karena akibat berhubungan dengan laki – laki lain.
4.      Perkawinan batal berdasarkan hubungan sapinda.
5.      Perkawinan dapat dibatalkan apabila istri tidak menganut agama yang sama dengan suami menurut hukum Hindu.

Dalam ajaran agama Hindu, disaat dua orang memutuskan untuk menikah tetapi memiliki keyakinan yang berbeda itu kurang diidealkan. Pernikahan dapat tetap dilaksanakan apabila kedua mempelai telah menganut keyakinan yang sama yaitu Hindu. Jadi sebelum rangkaian upacara pernikahan dilaksanakan, mempelai yang belum menganut agama Hindu akan diupacarai terlebih dahulu. Upacara tersebut dikenal dengan istilah Sudhi Wadani.
2.3 Upacara Sudhi Wadani
        Dalam tradisi agama Hindu di Bali, terdapat suatu upacara yang dikenal dengan nama Sudi Wadani. Upacara Sudi Wadani adalah Upacara yang wajib dilakukan bagi umat non-Hindu yang ingin memeluk Hindu. Upacara ini  tidak hanya sebagai pencatatan administrative  bagi yang menjalankannya, melainkan juga bermakna sebagai bentuk penyucian diri dan pernyataan spiritual bahwa yang bersangkutan siap melaksanakan seluruh ajaran agama Hindu. Bagi seseorang yang akan melaksanakan upacara Sudhi Wadani, baik yang dilakukan secara perorangan atau  secara kelompok diwajibkan untuk memenuhi persyaratan administrasi terlebih dahulu, yaitu :
1.         Membuat surat pernyataan dengan tulus ikhlas ntuk menganut agama Hindu tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.
2.         Membuat surat permohonan kepada Parisadha Hindu Dharma Indonesia setempat atau lembaga adat untuk mengikuti upacara Sudhi Wadani.
3.         Mengumpulakan foto copy KTP dan pas photo ukuran 3x4 sebanyak 2 lembar.
4.         Adanya saksi – saksi dalam pelaksanaan upacara Sudhi Wadani. Perlu diketahui bahwa dalam pelaksanaan upacara Sudhi Wadani tidak dibatasi usia karena upacara ini bertujuan untuk menyucikan diri secara lahir batin seseorang ketika akan menganut agama Hindu.
Selain persyaratan administrasi yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melaksanakan upacara Sudhi Wadani, terdapat beberapa sarana upacara yang juga harus disiapkan, diantaranya :
1.      Berwujud dedaunan, seperti : daun kelapa, daun enau, daun pisang, daun sirih, dan senagainya.
2.      Berwujud buah – buahan, seperti : buah kelapa, beras atau padi, pinang, kacang – kacangan, dan sebagainya.
3.      Berwujud bunga – bungaan atau kembang.
4.      Berwujud air (disebut tirta).

Setelah memenuhi persyaratan administrasi dan mempersiapkan segala sarana upacaranya, berikut ini tata cara pelaksanaan dari upacara Sudhi Wadani :
1.      Setelah ditentukan pemimpin upacara, upakara, tempat upacara, Parisada memanggil calon yang akan disudhi wadanikan. Biasanya di Pura atau tempat suci lainnya yang dipandang cocok.
2.      Pemimpin upacara terlebih dahulu mengantarkan upakara dengan puja mantra ke hadapan Hyang Widhi beserta manifestasinya yang dipusatkan di Padmasana.
3.      Calon yang akan disudhiwadanikan diharapkan sudah siap lahir bathin dengan berpakaian bersih dan rapi serta menyerahkan diri sepenuhnya kepada Hyang Widhi sebagai saksi agung.
4.      Upacara Byakala sebelum memasuki halaman tempat suci dengan doa : “Om kaki bhuta penampik lara, kaki bhuta penampik klesa, ngunduraken bhaya kalaning manusaning hulun, Om ksama sampurna ya nama svaha”
5.      Setelah melaksanakan upacara Byakala, orang yang disudhiwadanikan diantar masuk ke dalam tempat suci, kemudian dilakukan upacara prayascita. Upacara ini bertujuan yang bersangkutan dapat dibersihkan dan disucikan dari kotoran sehingga Atma yang bersemayam dalam diri pribadinya dapat memancarkan sinarnya. Doa yang digunakan : “Om Sri Guru Saraswati, sarwa roga, sarwa papa, sarwa klesa, sarwa kali, kuluwasa ya namah svaha”.
6.      Upacara selanjutnya adalah persembahan upakara berupa tataban atau ayaban sebagai pernyataan terima kasih ke hadapan Hyang Widhi. Doanya : “Om Bhuktyantu sarwa dewa bhuktyantu tri loka natham sageneh sapariwarah, sarwagah, sadhasidasah”.
7.      Setelah selesai menghaturkan upakara, pemimpin upacara membacakan pernyataan yang sudah di tulis oleh yang melakukan Suddhi Wadani, kemudian ditirukan dengan seksama. Adapun bunyi surat pernyataan yang ditulis pada blangko surat pernyataan oleh calon Suddhi Wadani adalah sebagai berikut :
a.       Om tat Sat ekam eva adwityam brahman (Sang Hyang Widhi hanya satu tidak ada duanya)
b.      Satvam eva jayate (Hanya kebenaran yang jaya)
c.       Dengan melaksanakan ajaran agama Hindu kebahagiaan pasti akan tercapai.
Kemudian setelah mengucapkan pernyataan tersebut, yang disuddhiwadanikan diminta menepati pernyataannya itu dengan mengucapkan janji sebagai berikut :
a.       Bahwa saya akan tunduk serta taat pada Hukum Hindu.
b.      Bahwa saya tetap akan berusaha dengan sekuat tenaga dan pikiran serta batin untuk dapat memenuhi kewajiban saya sebagai umat Hindu.
Kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan Surat keterangan Sudhi Wadani, baik oleh yang bersangkutan maupun oleh para saksi.
8.      Setelah penandatangan selesai dilanjutkan dengan persembahyangan bersama yang dipimpin oleh pemimpin upacara guna memohon persaksian dan restu dari Sang Hyang Widhi.

Adapun rangkaian persembahyangannya sebagai berikut :
a.       Menyembah tanpa sarana (tangan kosong) yaitu tangan dicakupkan, diangkat setinggi dahi sehingga ujung jari sejajar ubun – ubun. Doanya : “Om atma tatwatma sudhamam svaha” yang artinya (Hyang widhi yang merupakan atma tattwa, sucikanlah hamba).
b.      Menyembah dengan bunga atau kembang. Tangan menjepit bunga, ujung jari sejajar ubun – ubun ditujukan ke hadapan Siwa Raditya, menifestasi Hyang Widhi sebagai dewa Surya untuk menyaksikan semua persembahan manusia. Doanya : “Om Adityasya paramjyoti, raktateja namo stute, sveta pangkaja madhyasta bhaskara ya namo stute. Om pranamya bhaskara dewam, srwa klesa winasanam. Pranamyaditya ciwartam bhukti mukthi warapradham. Om rang ring sah parama ciwaditya namo namah svaha” yang artinya (Hyang Widhi hamba sembah engkau dalam manifestasi sebagai sinar surya yang merah cemerlang, berkilauan cahayaMu, engkau putih suci bersemayam di tengah – tengah laksana teratai, engakaulah Bhaskara yang hamba puja selalu. Hyang Widhi, cahaya sumber segala sinar binasa. Karena dikau adalah sumber bukti dan mukti, kesejahteraan hidup jasmani dan rohani. Hamba memujaMu, Hyang Widhi Paramaciwaditya).
c.       Menyembah dengan Kwangen. Tangan menjepit Kwangen, ujung jari sejajar ubun – ubun sehingga permukaan kwangen berada lebih tinggi dari ubun – ubun. Pemujaan dengan kwangen ini ditujukan ke hadapan Hyang Widhi dalam manifestasiNya sebagai Ardanareswari. Doanya : “Om namah dewa adhistanaya, sarwa wyapiwai ciwaya, padmasana eka pratisthaya ardhanarecwaryainamo namah” yang artinya (Hyang Widhi hamba memujaMu sebagai sumber sinar yang hamba muliakan, hamba memuja dikau sebagai Siwa penguasa semua makhluk, bertahta pada padmasana sebagai satu – satunya penegak. Engkaulah satu – satunya wujud tunggal Ardanareswari yang hamba hormati).
d.      Menyembah dengan Kwangen. Tangan menjepit kwangen, ujung jari sejajar ubun – ubun ke hadapan hyang widhi guna memohon anugrah.Doanya : “Om Anugraha manohara dewatta nugrahaka, arcanam sarwapujanam, namahsarwanugrahaka, Dewa dewi mahasiddhi, yadnyakita mulat idham, laksmisidhisca dhirgayuh. Nirwignam sukha wrdhisca. Om ghring anugraha arcane ya namo namah svaha, om ghring anugraha manoharaya namo namah svaha” yang artinya (Hyang Widhi limpahakanlah anugerahMu yang menggembirakan pada hamba. Hyang Widhi maha pemurah yang melimpahkan segala kebahagiaan yang dicita – citakan serta dipuji – puji dengan segala pujian. Hamba puja engkau yang melimpahkan segala macam anugrah, sumber kesidhian semua dewata yang semua berasal dari yajnya kasih syangMu. Limpahkanlah kemakmuran, kesdihian, umur panjang serta keselamatan. Hamba puja dikau untuk dianugrahi kebaktian dan kebahagiaan).
e.       Menyembah tanpa sarana. Tangan dicakupkan diangkat sejajar dahi, sehingga ujung jari sejajar ubun – ubun. Tujuan menyembah terakhir ini untuk mengucapkan terima kasih atas anugrah yang dilimpahkan. Doanya : “Om dewa suksma parama achintya nama svaha, Om santih santih santih om” yang artinya (Hyang Widhi hamba memujaMu dalam wujud suci yang gaib serta wujud maha agung tak dapat dipikirkan. Semoga semuanya damai di hati, damai di dunia, damai selalu).

Dengan demikian berakhirlah rangkaian persembahyangan yang kemudian disusul dengan memohon tirta (air suci) yang dipercikan, diminum, dan diraup. Doanya : “Om pratama sudha, dwitya sudha, tritya sudha, sadham wari astu” yang artinya (Pertama suci, kedua suci, semoga disucikan dengan air ini).
9.      Sebagai rangkaian terakhir dari pelaksanaan upacara Suddhi Wadani adalah Dharma Wacana yang diberikan oleh Parisada Hindu Dharma atau yang mewakili. Tujuan dharma wacana ini diberikan adalah untuk memberikan bekal dan tuntunan kepada umat Hindu yang baru mulai menganut agama Hindu sehingga mereka mengetahui sisi ajaran agama Hindu. Upacara ditutup dengan memberikan ucapan selamat oleh yang ikut menyaksikan berlangsungnya upacara pensuddhian selanjutnya diakhiri dengan parama shanti.
2.4 Perbandingan aturan pernikahan berbeda keyakinan dalam konteks non Hindu
2.4.1 Pernikahan Beda Agama menurut Undang-undang
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang dalam pasal 1 berbunyi: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seseorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Selanjutnya dalam pasal 2 ayat 1 dinyatakan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu”.
Dalam penjelasan atas pasal 1 disebutkan : “Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.
2.4.2 Menurut Agama Islam
Pandangan Agama Islam terhadap perkawinan antar agama, pada prinsipnya tidak memperkenankannya. Dalam Al-Quran dengan tegas dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musyrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi:
“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahkan orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Al-Baqarah [2]:221)
Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk menikah dengan orang-orang yang tidak beragama Islam.
2.4 3 Menurut Agama Katolik
Gereja Katolik memandang bahwa perkawinan antara seorang beragama Katolik dengan yang bukan agama Katolik bukanlah bentuk perkawinan yang ideal. Karena perkawinan dianggap sebagai sebuah sakramen (sesuatu yang kudus, yang suci). Menurut Hukum Kanon Gereja Katolik, ada sejumlah halangan yang membuat tujuan perkawinan tidak dapat diwujudkan. Misalnya, adanya ikatan nikah (kanon 1085), adanya tekanan/paksaan baik secara fisik, psikis maupun sosial/komunal (kanon 1089 dan 1103), dan juga karena perbedaan gereja (kanon 1124) maupun agama (kanon 1086).
Namun demikian, sebagaimana disebut dalam Hukum Kanonik, perkawinan karena perbedaan agama ini baru dapat dilakukan kalau ada dispensasi dari Ordinaris Wilayah atau Keuskupan (Kanon 1124). Jadi, dalam ketentuan seperti ini, Agama Katolik pada prinsipnya melarang perkawinan antara penganutnya dengan seorang yang bukan Katolik, kecuali dalam hal-hal tertentu Uskup dapat memberikan dispensasi atau pengecualian.
2.4.4 Menurut Agama Protestan
Pada umumnya pernikahan beda agama tidak dikehendaki di dalam Perjanjian Lama (PL). Alasannya adalah kekuatiran bahwa kepercayaan kepada Allah Israel akan dipengaruhi ibadah asing dari pasangan yang tidak seiman (Ezr. 9-10; Neh. 13:23-29; Mal. 2:10). Larangan yang eksplisit terdapat dalam Ul. 7:3-4, “Janganlah juga engkau kawin-mengawin dengan mereka: anakmu perempuan janganlah kauberikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kauambil bagi anakmu laki-laki; sebab mereka akan membuat anakmu laki-laki menyimpang dari pada-Ku, sehingga mereka beribadah kepada allah lain. Maka murka TUHAN akan bangkit terhadap kamu dan Ia akan memunahkan engkau dengan segera.”
2.4.5 Menurut Agama Budha
Perkawinan antar agama di mana salah seorang calon mempelai tidak beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan, asal pengesahan perkawinannya dilakukan menurut cara agama Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang tidak bergama Budha, tidak diharuskan untuk masuk agama Budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam upacara ritual perkawinan, kedua mempelai diwajibkan mengucapkan “atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka”.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain. Akan tetapi untuk penganut agama lainnya maka harus dilakukan menurut agama Budha. Kewajiban untuk mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka, ini secara tidak langsung berarti bahwa calon mempelai yang tidak beragama Budha menjadi penganut agama Budha, walaupun sebenarnya ia hanya menundukkan diri pada kaidah agama Budha pada saat perkawinan itu dilangsungkan.
2.4.6 Menurut Agama Khonghucu
Dalam ajaran agama Khonghucu perkawinan adalah, ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia), dan melangsungkan keturunan berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa. Tujuan perkawinan dalam agama Konghucu di Indonesia ialah memungkinkan manusia melangsungkan sejarahnya dan mengembangkan benih-benih Thian (Tuhan Yang Maha Esa), berwujud kebajikan yang bersemayam di dalam dirinya, dan memungkinkan manusia membimbing putra-putrinya.
Adapun syarat-syarat perkawinan bagi umat Konghucu yang terkait masalah beda agama :
a.       Ada persetujuan dari kedua mempelai tanpa ada unsur paksaan.
    1. Kedua calon mempelai wajib melaksanakan pengakuan iman. Peneguhannya dilaksanakan di tempat ibadah umat Konghucu (Lithang).
    2. Mendapat persetujuan dari kedua orang tua, baik orang tua pihak laki-laki maupun pihak perempuan atau walinya.
    3. Disaksikan oleh dua orang saksi.


BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
            Dari pembahasan yang berasal dari berbagai referensi dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai sepasang suami istri yang bertujuan untuk membentuk suatu rumah tangga yang bahagia yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam agama Hindu, pernikahan disebut dengan pawiwahan. Tingkatan ini merupakan salah satu bagian dari catur asrama yang dikenal dengan Grhastha asrama. Pawiwahan ini dipandang wajib untuk seluruh umat dan tidak boleh dilaksanakan secara terpaksa atau dipengaruhi oleh orang lain. Tujuan utama dari pawiwahan adalah untuk mendapatkan keturunan yang suputra yang dapat menyeberangkan orang tuanya dari neraka menuju surga. Terkait dengn suatu problematik dalam masyarakat tentang pernikahan berbeda keyakinan, jika kita tinjau secara umum, tidak menjadi suatu permasalahan yang besar apabila ada dua orang yang ingin hidup bersama tetapi memiliki dasar keyakinan yang berbeda. Tetapi di satu sisi, kita juga harus berpedoman pada adat dan tradisi yang berlaku. Dalam agama Hindu khusunya, memang tidak disarankan untuk membina suatu rumah tangga yang didasari dua keyakinan yang berbeda karena pada prinsipnya suatu rumah tangga harus memiliki dasar keyakinan yang sama agar rumah tangga tersebut dapat terbina secara harmonis. Selain itu, diharapkan suami dan istri itu menganut keyakinan yang sama agar tidak mengakibatkan keturunannya kelak bingung untuk mengikuti keyakinan orang tuanya.
Sesuai dengan aturan dalam agama Hindu terkait dengan pernikahan berbeda keyakinan, maka apabila salah satu mempelai belum menganut agama Hindu maka harus diupacarai terlebih dahulu. Upacara ini disebut dengan Sudhi Wadani. Upacara ini dilakukan oleh seseorang yang hendak menganut agama Hindu dimana makna dari upacara ini adalah untuk penyucian diri dan pernyataan spiritual bahwa orang tersebut siap lahir dan batin untuk mengikuti dan menerapkan seluruh ajaran agama Hindu. Tahapan pertama yang harus dipenuhi adalah tahap administrasi dimana seorang yang akan mengikuti upacara ini mengajukan surat permohonan untuk mengikuti upacara Sudhi Wadani kepada PHDI setempat. Setelah permohonan itu diproses, calon yang akan mengikuti upacara Sudhi Wadani menyiapkan sarana yang akan digunakan baik itu berupa dedaunan, buah-buahan, bunga, dan air. Setelah seluruh sarana siap, maka upacara dapat dilaksanakan dengan dipimpin oleh pemuka agama Hindu yang sudah ditunjuk oleh PHDI dan memang dipandang pantas untuk memimpin jalannya upacara Sudhi Wadani. Sama halnya dengan agama Hindu, aturan pada agama lain terkait dengan pernikahan berbeda keyakinan juga kurang diidealkan. Bukan hanya dari segi hukum agama itu sendiri, tapi juga mempertimbangkan tujuan dari pernikahan yaitu  menyatukan dua insan yang berbeda untuk membina bahtera rumah tangga bersama. Dalam membina rumah tangga, akan terjalin hubungan untuk melahirkan keturunan, memelihara, membesarkan dan mendidik anak. Jadi jauh akan lebih mudah apabila rumah tangga dibangun dengan dasar keyakinan yang sama.
3.2 Saran 
            Dari permasalahan yang dibahas, saran yang dapat diberikan umumnya untuk seseorang yang hendak mencari pasangan hidup, hendaklah mencari yang seiman. Tidak menutup kemungkinan memang ada bahkan cukup banyak pasangan yang berbeda keyakinan, jika dengan keadaan yang demikian maka salah satunya harus siap berpindah keyakinan agar nantinya bisa membangun bahtera rumah tangga yang harmonis. Namun apabila satu sama lain masih tetap menganut keyakinannya masing – masing setelah menikah, maka keduanya harus dapat memunculkan sikap toleransi satu sama lain dan mendidik keturunan mereka nantinya dengan cara yang tepat dan usahakan tidak memaksakan salah satu keyakinan orang tuanya. Biarkanlah anak yang memilih sehingga anak tidak merasa terkekang.
DAFTAR PUSTAKA
Sudirga, Ida Bagus, dkk. 2010. Widya Dharma Agama Hindu SMA. Denpasar: Ganeca Exact.
Rai Sudharta, Tjokorda. 2003. Manawa Dharmasastra. Jakarta: CV. Nitra Kencana Buana.
Subali, Ida Bagus. 2008. Wanita Mulia Istana Dewa. Surabaya: Paramita.
Darmayasa, I Made. 1995. Canakya Niti Sastra terjemahan. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.
New Merah Putih, Redaksi. 2009. Undang Undang Perkawinan No 1 tahun 1974. Yogyakarta: New Merah Putih.